Sejarah Singkat Doktrin Trinitas (Revisi 12 Feb. 2018)

SEJARAH SINGKAT DOKTRIN TRINITAS

Diterjemahkan dengan ijin oleh: Yolanda Kalalo-Lawton
Sumber:
www.trinitytruth.org

Pendahuluan

Trinitas adalah kata Latin, berasal dari istilah Platonik “trias” yang berarti “tiga”.  Kata ini hanya berdasarkan filsafat manusia, bukan berdasarkan konsep Alkitab.

Diperkenalkan oleh Tertullian (160-225 AD/Sesudah Masehi), seorang penyembah berhala yang kemudian menjadi seorang filsuf dan salah satu Bapa dari gereja Katolik, yang pada abad ketiga mengajarkan tentang ilmu Ketuhanan.  Dia menyimpulkan bahwa Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah satu unsur tetapi bukan satu oknum.  Namun dia tidak mengajarkan bahwa Anak Allah dan Bapa adalah sama kekal.

Banyak pertanyaan yang tidak terjawab mengenai ajaran Trinitas ini. Pertanyaan yang paling lazim adalah: “Di mana ajaran ini dalam Alkitab?”  Sepanjang sejarah, para pakar mengakui bahwa ajaran ini tidak Alkitabiah, tapi ada juga yang mencoba mengutip 1 Yohanes 5:7 sebagai jawaban.  Namun berdasarkan sejarah yang benar, kata-kata yang dicetak miring dalam ayat tersebut: “Sebab ada tiga yang memberi kesaksian (di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu.”  hanyalah kata-kata yang ditambahkan oleh sang penerjemah karena kata-kata tersebut tidak terdapat dalam naskah asli. Perhatikan apa yang tertulis dalam Pelajaran Sekolah Sabat Dewasa Gereja MAHK di bawa ini:

“Di antara ahli-ahli teolog ada perdebatan bahwa kalimat ini tidak asli tapi telah ditambahkan, mungkin untuk menyokong doktrin Trinitas.” (Pelajaran SS Dewasa Gereja MAHK, Kwartal ketiga, Pelajaran tgl. 26 Agustus 2009). http://ssnet.org/qrtrly/eng/09c/less09.html

 

Asal Mula Doktrin Trinitas

Kira-kira satu abad setelah Tertullian, para pengikut Arius (Arians) mengakibatkan banyak pertentangan, menyebabkan kaisar Costantine mengadakan sidang Oikumene pertama dalam sejarah untuk mempersatukan kerajaannya.

Pada permulaan abad ke 4 tersebut, sejarah menyatakan bahwa Arius mengajarkan bahwa Kristus adalah Anak Allah yang benar-benar lahir dari Bapa.  Itulah sebabnya Allah disebut Bapa.  Dengan kata lain, secara harafiah hubungan mereka sesungguhnya adalah hubungan antara Bapa dan Anak.  Sebaliknya, Athanasius, seorang diakon juga berasal dari Alexandria menantang keras ajaran Arius.

Pandangan Athanasius berakar kuat pada doktrin Trinitas yang telah diajarkan sejak jaman kuno, dimana Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah satu Allah yang sama tapi bukan oknum yang sama, oleh sebab itu tidak mungkin Allah Bapa dan Anak-Nya memiliki hubungan harafiah sebagai Bapa dan Anak.  Pandangan Athanasius ini mengalami perubahan yang memburuk dari waktu ke waktu. Mulanya, Roh Kudus belum diberi julukan sebagai Oknum ketiga. Julukan ini perlahan terbentuk dengan datangnya perubahan waktu.

Ajaran sejarah populer mengatakan Arius mengajarkan bahwa Kristus hanyalah mahluk ciptaan.  Namun menurut sejarah yang benar yang sengaja disembunyikan oleh ajaran sejarah populer, mengatakan bahwa Gereja Katolik dengan penyetujuan kaisar Constantine, telah membakar semua tulisan Arius yang memberikan kesimpulan sebaliknya.  Banyak pakar sejarah percaya bahwa Gereja Katolik telah merubah tulisan-tulisan Arius dan menyebarkan desas desus tidak benar seolah Arius mengajarkan Kristus hanyalah mahluk ciptaan, dengan tujuan memburukkan nama Arius. Seperti yang kita ketahui bersama, Gereja Katolik terkenal dengan peran liciknya dalam merubah sejarah demi menentang kebenaran Allah.  Ini hanya merupakan salah satu contoh dari banyak kekejian yang mereka lakukan.

Pandangan Athanasius ini dipengaruhi juga oleh Origen, seorang seorang filsuf Yunani dan pakar agama yang merubah doktrin Kekristenan melalui filsafat Neoplatonisme.  Ajaran Origen ini kemudian dituduh tidak sesuai dengan tradisi.  Origen mengajarkan doktrin api penyucian, transubstansi (roti perjamuan kudus dirubah menjadi tubuh Kristus yang sesungguhnya dalam sakramen, bukan hanya sekedar lambang saja), transmigrasi (jiwa orang mati berpindah kepada oknum lain), reinkarnasi jiwa, Roh Kudus memiliki sifat kewanitaan, Yesus hanyalah makhluk ciptaan, tidak ada kebangkitan, penciptaan dalam buku Kejadian hanya cerita fiksi, dan dia (Origen) menyunat diri sendiri berdasarkan interpretasi pribadi atas Matius 19. 

Sebaliknya, Arius adalah murid Lucian dari Antiokia.  Lucian-lah yang memberi kita Textus Receptus (Terjemahan yang diakui dewan Alkitab mula-mula) yang kemudian proses penerjemahannya diselesaikan oleh Erasmus dan sekarang dikenal dengan Perjanjian Baru yang berdasarkan Alkitab Versi King James yang menurut bukti sejarah adalah terjemahan yang terpercaya.  Fakta ini dan banyak fakta-fakta lain memaparkan bahwa Athanasius dipengaruhi oleh filsafat Yunani, dan sebaliknya ada kemungkinan besar bahwa Arius-lah yang justru mengajarkan kebenaran Alkitab, yang tentu saja tidak diajarkan oleh pelajaran sejarah yang populer saat ini.

Banyak yang percaya bahwa Constantine adalah Kaisar Roma pertama yang bertobat menjadi Kristen.  Namun sebetulnya dia tetap menyembah matahari sampai akhir khayatnya.  Ini dinyatakan dalam pengakuan baptisannya saat dia terbaring sekarat di tempat tidur.  Dalam masa pemerintahannya, dia memerintahkan untuk membunuh istri dan putera sulungnya sendiri.  Selain mencampur adukkan penyembahan berhala dengan Kekristenan demi tujuan politik, sebenarnya dia tidak perduli dan tidak mengerti asal usul pertentangan antara Arius dan Athanasius.  Tujuannya hanya semata-mata untuk mengakhiri perdebatan demi kesatuan kerajaan. 

Para uskup berkumpul di Nicea pada tanggal 20 Mei 325 AD/Sesudah Masehi atas prakarsa Constantine dalam usahanya untuk memadamkan krisis yang sedang terjadi. Hanya sejumlah kecil para uskup percaya pada ajaran Athanasius tentang Kristus.  Mayoritas uskup-uskup berposisi netral.  Mereka tidak memihak Athanasius maupun Arius. Pertentangan doktrin ini berselang selama dua bulan sebelum sidang dewan Nicea menolak ajaran minoritas Arius.  Karena tidak ada pilihan lain, Constantine menyetujui ajaran Athanasius yang juga hanya berupa kepercayaan minoritas saat itu.  Dalam ensiklopedi Britanika tertulis:

“Constantine sendiri memimpin diskusi dan menganjurkan…formula penting ini dalam pernyataan tertulis. Atas nama dewan dia menetapkan hubungan Kristus dengan Allah…disahkan oleh kaisar, para uskup, kecuali dua orang yang tidak memberikan suara. Pernyataan tertulis tersebut telah disahkan, walau sebenarnya banyak dari para pemilih saat itu tidak memilih sesuai dengan kehendak mereka sendiri.”  (Edisi 1971, Vol. 6, “Constantine,” p. 386)

Penganiayaan keagamaan mengerikan menyusul keputusan yang dibuat oleh Constantine yang pada dasarnya tetap sebagai seorang penyembah berhala.  Dia memaksakan peraturan gereja ini yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Yesus.  Constantine mengasingkan mereka yang menolak keputusan gereja, termasuk para uskup yang ikut menanda-tangani peraturan tersebut dalam sidang Nicea sebelumnya karena penolakan mereka dalam mengutuk Arius.  Constantine juga memerintahkan semua buku Arius yang berjudul “Thalia” untuk dihanguskan.  Beberapa tahun kemudian Constantine melunak terhadap pengikut Arius dengan menerima mereka kembali ke dalam gereja.  Pada tahun 335 AD/Sesudah Masehi giliran mereka yang pernah diasingkan oleh Constantine, membuat tuduhan terhadap Athanasius, yang kemudian adalah giliran Athanasius diasingkan oleh Constantine.  Kita bisa melihat bahwa kejadian ini tidak ada hubungannya dengan kebenaran Alkitab.  Karena sebagai seorang kaisar penyembah matahari, Constantine-lah yang juga untuk pertama kali memaksakan hukum hari Minggu empat tahun sebelumnya.  Constantine sangat berperan penting dalam membawa dua tradisi penyembahan berhala ini ke dalam gereja.  Semuanya terjadi lebih dari 300 tahun setelah Yesus disalibkan, yang berarti bahwa ajaran gereja tentang Trinitas ini tidak dikenal di jaman Gereja Kristen mula-mula dan tidak diajarkan oleh para rasul. Lihat ensiklopedia Britanika dan tulisan sejarah yang benar.

Banyak dari para uskup yang mebentuk doktrin Trinitas condong pada ilmu Yunani dan Platonik, yang mempengaruhi pandangan kerohanian mereka.  Bahasa yang mereka gunakan untuk menerangkan doktrin trinitas diambil langsung dari ajaran Platonik Yunani, yaitu kata “trias,” yang berarti tiga yang diadopsi sebagai Bahasa Latin “trinitas,” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris “Trinity.” Dengan demikian Trinitas tidak berasal dari ayat Alkitab, melainkan dilahirkan oleh ilmu filsafat. Para pakar filsafat Yunani mendapat pengaruh besar dari Plato (427-347 BC/Sebelum Masehi) yang diagungkan sebagai seorang filsuf terbesar di atas semua filsuf-filsuf Yunani.  Plato telah ditanamkan dengan ilmu Trinitas.  Dia percaya bahwa semua agama kuno memiliki tiga allah.  Dia kemudian memperkenalkan definisi yang tampaknya lebih mulus dan bijak, menunjukkan bahwa Allah Bapa adalah Allah di atas segala mitos allah bangsa Yunani.  Definisi Plato tentang Allah adalah: 

1.      “Allah yang pertama,” merupakan Allah yang tertinggi di alam semesta;

2.      “Allah kedua” dia sebut “jiwa dari semesta alam.” dan

3.     “Allah ketiga” dia sebut “Roh.”

Seorang filsuf Yahudi bernama Philo dari Alexandria (15 BC-AD 50) yang mempelajari perkembangan filsafat Yunani, yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Plato mengajarkan bahwa:

1.          Bapa, adalah pencipta seluruh alam semesta (Philo menamakannya “The Demiurge”)

2.          Ibu, adalah ilmu/kuasa yang dimiliki oleh sang pencipta, dan

3.          Anak tercinta adalah bumi kita.

Dia menyimpulkan bahwa persatuan dari demiurge dan kuasa/ilmu, menghasilkan bumi kita ini.  Bentuk pemikiran esoterik/misterius inilah yang menjadi dasar perkembangan doktrin Trinitas.

Perhatikan bagaimana kutipan kutipan berikut mendokumentasikan kepercayaan kepada tiga Allah di berbagai bagian bumi dan setiap agama dunia kita sejak dahulu.

Babilon – “Orang-orang Babilon kuno mengenal doktrin Trinitas, atau tiga oknum dalam satu allah – sesuai yang nampak dari gabungan allah dengan tiga kepala yang membentuk bagian dari mitologi, dan penggunaan segi tiga sama sisi, juga sebagai simbol dari Trinitas dalam kesatuan.” (Thomas Dennis Rock, The Mystical Woman and the Cities of the Nations, 1867, Hal. 22-23)

India “Puranas (Mitologi), salah satu dari kitab-kitab suci Hindu lebih dari 3.000 tahun lalu, berisi ayat-ayat berikut: ‘O engkau tiga Tuhan! Ketahuilah bahwa saya mengenal hanya satu Allah. Oleh sebab itu, katakanlah kepada saya, siapakah di antaramu yang benar-benar Ilah, sehingga saya dapat mengarahkan pemujaan-pemujaan saya hanya padanya saja.’ Ketiga allah, Brahma, Vishnu, dan Siva (atau Shiva), menunjukkan diri padanya, dan menjawab, ‘Belajarlah, O, pemuja, bahwa tidak ada perbedaan nyata antara kami.  Apa yang nampak padamu hanyalah persamaan. Makhluk tunggal yang nampak di bawah tiga bentuk dalam pekerjaan-pekerjaan penciptaan, pemeliharaan, dan pemusnahan, tapi dia adalah satu.’

“Oleh sebab itu segi tiga diadopsi oleh semua bangsa-bangsa kuno sebagai simbol ke-Allahan…tiga dihormati di antara bangsa-bangsa kafir sebagai nomor mistik utama, karena seperti kata Aristotle, angka itu di dalamnya berisi sebuah permulaan, sebuah pertengahan, dan sebuah akhir. Dengan demikian kita dapati ini menandakan sifat-sifat dari semua allah penyembah berhala.”

Yunani“Pada abad ke 4 BC/Sebelum Masehi., Aristotle menulis: ‘Segala sesuatu adalah tiga, dan ketiga adalah semua: marilah kita menggunakan nomor ini dalam pemujaan kepada allah-allah; karena, seperti para penganut Pitagoras berkata, segalanya dan segala sesuatu adalah terikat dalam tiga-tiga, karena yang terakhir, pertengahan dan permulaan memiliki nomor ini dalam segalanya, dan menunjukkan nomor Trinitas.’’ (Arthur Weigall, Paganism in Our Christianity, 1928, Hal. 197-198)

Mesir“Nyanyian untuk Amun menetapkan bahwa ‘Tidak ada allah yang menjadi Makhluk sebelum (Amun)’ dan bahwa ‘Semua allah adalah tiga: Amun, Re, Ptah, dan tidak ada yang kedua dari mereka. Yang tersembunyi namanya adalah  Amon, dia adalah Re dalam wajah, dan tubuhnya adalah Ptah.’ …Ini adalah kalimat Trinitas, tiga allah terpenting Mesir yang digolongkan ke dalam satu dari mereka, yaitu Amon.  Jelas, konsep  kesatuan alami dalam kejamakan mendapat sokongan luar biasa dari formula ini. Secara teologi, dalam bentuk dasarnya, begitu menyolok sangat dekat pada bentuk Kekristenan  yaitu kejamakan Trinitas dalam keesaan.” (Simson Najovits, Egypt, Trunk of the Tree, Vol 2, 2004, Hal. 83-84)

Tempat-Tempat LainBanyak tempat-tempat yang lain juga memiliki ke-allahan Trinitas mereka sendiri.  Di Yunani mereka adalah Zeus, Poseidon dan Adonis.  Bangsa Fenesia menyembah Ulomus, Ulosuros dan Eliun.  Roma menyembah Jupiter, Mars dan Venus. Bangsa-bangsa Jerman menyebutnya Wodan, Thor dan Fricco.  Sehubungan dengan orang-orang Kelt, sebuah sumber berkata: “Dewa-dewa berhala kuno orang-orang kafir Irlandia, Kriosan, Biosena, dan Seeva, atau Sheeva, tidak diragukan lagi adalah Creeshna (Krishna), Veeshnu (Vishnu), (atau yang terutama) Brahma, dan Seeva (Shiva), dari orang-orang Hindu.” (Thomas Maurice, The History of Hindostan, Vol. 2, 1798, Hal. 171)

Jelas bahwa konsep Trinitas adalah konsep para penyembah berhala.  Ahli ilmu Kemesiran Arthur Weigall dalam bukunya “Paganism in Our Christianity (Penyembahan Berhala di dalam Kekristenan Kita)” menyimpulkan bahwa ada pengaruh kepercayaan kuno dalam pengadopsian doktrin Trinitas oleh gereja.

Harus tidak dilupakan bahwa Yesus Kristus tidak pernah menyebut kejadian seperti itu (Trinitas), dan tidak ada di manapun juga dalam Perjanjian Baru kata Trinitas nampak. Ide itu hanya diadopsi oleh Gereja tiga ratus tahun setelah kematian dari Tuhan kita; dan konsep pertamanya adalah sama sekali kafir…

Pemikiran orang-orang Mesir kuno, sangat besar pengaruhnya pada kepercayaan mula-mula, biasanya menyusun dewa-dewa atau dewi-dewi mereka dalam Trinitas; ada Trinitas dari Osiris, Isis dan Horus, trinitas dari Amen, Mut dan Khonsu, Trinitas dari Khnum, Satis, da Anukis, dan sebagainya…

Namun umat Kristen mula-mula, mulanya tidak berpikir untuk mengaplikasikan ide iman mereka sendiri. Mereka memberi perbaktian-perbaktian mereka kepada Allah Bapa dan Yesus Kristus, Putera Allah, dan mereka mengenal kemisteriusan dan keberadaan yang tidak dapat diterangkan dari Roh Kudus; tapi sebenarnya tidak ada pemikiran tiga makhluk sebagai Trinitas, yang sama derajat dan bersatu dalam keesaan…

Pengaplikasian kekafiran tua dari konsep Trinitas ke dalam teologi Kristen dimungkinkan dengan diwajibkannya pengakuan Roh Kudus sebagai ‘Oknum’ ketiga, sama derajat dengan ‘Oknum-Oknum’ yang lain…

Ide dari Roh menjadi sama derajat dengan Allah tidak umum dikenal sampai pada pertengahan abad keempat A.D (Sesudah Masehi). …Tahun 381 Sidang Constantinople menambahkannya ke dalam pengakuan iman yang sebelumnya yaitu Kredo Nicea yang menjelaskan bahwa Roh Kudus adalah ‘Tuhan, dan pemberi hidup, yang berasal dari Bapa, bersama dengan Bapa dan Putera disembah dan dimuliakan.’…

Dengan demikian, kredo Athanasius, adalah susunan yang datang kemudian tapi mencerminkan konsep-konsep umum dari Athanasius (Penganut Trinitas abad ke 4 yang pandangannya akhirnya menjadi doktrin resmi) dan sekolahnya, yang merumuskan konsep sama derajat Trinitas dimana Roh Kudus adalah ‘Oknum’ ketiga; dan dijadikan dogma iman, dan kepercayaan dalam Tiga dalam Satu dan Satu dalam Tiga ini menjadi doktrin terpenting dalam Kekristenan, walaupun kerusuhan yang buruk dan pertumpahan darah tidak dapat dihindari…

Saat ini seorang pemikir Kristen … tidak berkeinginan untuk meneliti dengan saksama, khususnya kenyataan bahwa definisi ini bermula pada penyembahan berhala dan tidak diadopsi oleh Gereja hingga hampir 300 tahun sesudah Kristus. (Arthur Weigall, Paganism in Our Christianity (Penyembahan Berhala dalam Kekristenan Kita), 1928, Hal. 197-203)

Dewan Nicea tidak berhasil mengakhiri perdebatan antara Athanasius dan Arius.  Para uskup tetap mengajarkan ajaran Athanasius dan Arius sesuai dengan kepercayaannya, dan krisis ini berlangsung sampai enam puluh tahun kemudian.  Periode pengucilan Athanasius tidak lebih dari lima tahun. 

Pertentangan dari kedua kepercayaan tersebut dipenuhi kekerasan dan kadang mengakibatkan pertumpahan darah.  Pakar sejarah Will Durant menulis,

"Kemungkinan besar jumlah umat Kristen yang terbunuh oleh umat Kristen lain dalam masa dua tahun konflik (242-243 AD) melebihi jumlah umat Kristen yang terbunuh dalam masa penganiayaan umat Kristen oleh para penyembah berhala sepanjang sejarah Roma.”  (The Story of Civilization, Vol 4; The Age of Faith, 1950, Hal. 8).

Oleh karena perbedaan pandangan tentang kepribadian Allah, menurut sejarah, umat Kristen saling memerangi dan membunuh satu sama lain! Waktu Constantine meninggal di tahun 337 AD, perselisihan masih tetap berlangsung.  Putera Constantine, Constantius II memihak para pengikut Arius dan berusaha menghapus keputusan Dewan Nicea.  Constantius menggunakan kekuasaannya untuk mengasingkan para uskup yang pro keputusan Dewan Nicea terutama Athanasius yang melarikan diri ke Roma. 

Perdebatan ini menghasilkan banyak rapat persidangan, di antaranya adalah pertemuan Sardica tahun 343 AD, rapat dewan Sirmium tahun 358 AD dan dua pertemuan Rimini dan Seleucia tahun 359 AD, yang menghasilkan kurang lebih empat belas keputusan di antara tahun 340 dan 360 AD. 

Setelah kematian Constantius pada tahun 361 AD, penerusnya Julian, seorang penyembah berhala Roma, menyatakan bahwa dia tidak lagi mendukung perselisihan yang terjadi dalam gereja, dan memerintahkan semua uskup yang sedang dalam perasingan kembali diterima, akibatnya pertikaian menjadi lebih buruk lagi di antara umat-umat Kristiani.

Akhirnya perselisihan melebar pada hal-hal tentang asal-usul Roh Kudus.  44 tahun setelah meninggalnya Constantine, di bulan Mei 381 AD, kaisar Theodosius mendukung keputusan sidang Nicea.  Oleh sebab itu setelah sang kaisar tiba di Constantinople, dia mengirim uskup Demophilus ke perasingan, dan menyerahkan kepemimpinan seluruh gereja kepada Gregory dari Nazianzus, seorang pemimpin komunitas kecil Nicea, Bersama tiga orang lain yang dikenal sebagai “tiga Cappadocians.”  Tiga orang ini memiliki agenda yang untuk pertama kali memaksakan ide Roh Kudus sebagai oknum terpisah.  Waktu itu Gregory baru diangkat menjadi kepala uskup di Constantinople, tapi karena penyakitnya, Nectarius, tua-tua anggota majelis kota tertinggi mengambil alih jabatan kepala uksup dan dia memimpin dewan persidangan. 

Pada dasarnya Nectarius hanya dibaptis untuk jabatannya tetapi dia sebenarnya bukan seorang yang mengerti asal usul ajaran Trinitas dan Roh Kudus. Dia sama sekali buta akan ilmu Ketuhanan. Alhasil, keluarlah peraturan yang dikenal dengan keputusan Nicene-Constantinopolitan yang mengatakan bahwa Roh Kudus adalah Oknum terpisah. 

Mereka yang tidak menerima keputusan kaisar dan gereja disebut sebagai orang murtad dan dihukum sesuai hukum yang telah ditentukan.  Keputusan terakhir tentang kepribadian Allah sesuai dengan ajaran Trinitas inilah yang sekarang dikenal dan diajarkan dalam Kekristenan. 

Pandangan ini sama sekali bukan berdasarkan Alkitab tapi hanya berdasarkan filsafat Yunani yang dipaksakan oleh penguasa pada jaman itu. 

Secara rigkas, ketika Babel dikalahkan, hampir semua pendeta Babel membawa pengaruh penyembahan berhalanya ke Alexandria yang kemudian diasimilasikan dalam sekolahnya.  Para lulusan Alexandria melanjutkan ajaran penyembahan berhala bangsa Yunani yang didasarkan atas ajaran Plato dan dicampur aduk dengan ajaran Kristen (Neoplatonisme).  Merekalah yang mulai menerjemahkan Alkitab menggunakan sistim penjelasan dengan bahasa kiasan.  Sebaliknya, Lucian (guru dari Arius) menolak sistim terjemahan dari Alexandria. Dia menganjurkan sistim terjemahan sesuai yang tertulis (harafiah) yang berabad-abad lamanya digunakan oleh gereja-gereja Kristen di bagian Timur. 

Dengan kata lain, Origen menggunakan metode kiasan dalam menjelaskan atau menerjemahkan Alkitab, dimana metode yang sama menjadi dasar ajaran Athanasius dan ketiga Cappadocians dan kemudian menjadi dasar doktrin Trinitas yang sekarang ini lazim dikenal.

“Sekolah teologi Kristen Alexandria memuja Clement dari Alexandria dan Origen, ahli ilmu teologi yang sangat populer di antara semua ahli teolog gereja-gereja Yunani. Mereka memperkenalkan penggunaan metode penjelasan Alkitab dalam bahasa kiasan yang ajarannya dipengaruhi oleh Plato:  berakar kuat dari (penyembahan berhala) ilmu spekulasi tentang Allah. Athanasius dan ketiga Cappadocians (tiga pemimpin yang pandangan Trinitasnya diadopsi oleh Gereja Katolik dalam sidang Nicea dan Constantinople) tercatat sebagai anggota dari sekolah ini.” (Hubert Jedin, Ecumenical Councils of the catholic Church: a Historical Outline, (Sidang-Sidang Oikumene Gereja Katolik: Garis Besar Sejarah), 1960, p. 28).