Ny. White & Hari Raya Yahudi

Ny. White & Hari Raya Yahudi

Oleh Yolanda Kalalo-Lawton
www.agapekasih.org

Gereja Advent mula-mula; baik para pionir dan Ny. Ellen White, tidak merayakan atau menganjurkan kita untuk terus merayakan hari-hari raya bangsa Yahudi. Tapi saat ini banyak dari antara kita telah menjadi seperti para rabi Yahudi, mengutip Alkitab dan Ny. White tapi menggunakan interpretasi pribadi. Salah satu kutipan Ny. White yang sering digunakan oleh para rabi Yahudi moderen untuk mempromosikan pemeliharaan hari-hari raya bangsa Yahudi, adalah kutipan berikut: 

Akan lebih baik bagi kita untuk merayakan hari raya pondok daun, yakni suatu peringatan yang menggembirakan karena berkat-berkat Allah pada kita sebagai umat-Nya. Sebagaimana umat Israel merayakan kelepasan yang diberikan Allah pada leluhur mereka, dan mukjizat perlindungan bagi mereka selama perjalanan dari Mesir menuju tanah perjanjian, demikian juga umat Allah saat ini sangat bersyukur mengingat berbagai cara yang telah Dia lakukan untuk membawa mereka keluar dari dunia, keluar dari kegelapan yang keliru, ke dalam terang kebenaran yang agung. Kita harus selalu diingatkan akan ketergantungan kepada Allah terutama mereka yang memulaikan pekerjaan ini. Kita haruslah menghormati ajaran mula-mula, dan menyegarkan jiwa kita dengan ingatan-ingatan tentang kasih kemurahan dari Pemberi kita Yang Maha Pemurah itu.” Review and Herald, Nov. 17, 1885.

Menurut mereka, Ny. White menganjurkan kita untuk memelihara hari raya Pondok Daun. Benarkah? Pertama-tama, perayaan hari raya Yahudi tidak tertulis dalam fondasi iman gereja Advent mula-mula. Kedua, Kita harus mengerti bahwa Ny. White sering menggunakan bahasa Perjanjian Lama sebagai ilustrasi agar kita mengerti bahwa pertemuan gerejani, seperti camp meeting (pertemuan tenda) adalah sama pentingnya ketika bangsa Israel merayakan hari raya Pondok Daun. Hal ini harus dikaitkan dengan tulisan-tulissan beliau lain yang jelas mengatakan bahwa seluruh sistim kiasan, sudah berakhir di salib. Bukan persembahan kurban bakaran saja yang dihapuskan, melainkan seluruh sistim, termasuk waktu atau tanggal perayaannya. Simak kutipan-kutipan berikut:

“Bayang-bayang ini sudah digenapi, bukan peristiwanya saja, tapi juga waktunya. Pada hari keempat belas di bulan pertama bangsa Yahudi, pada hari dan bulan yang sama dimana untuk 15 abad lamanya domba-domba paskah telah disembelih, Kristus, setelah makan paskah dengan murid-muridNya, melembagakan perjamuan itu untuk memperingati kematian diri-Nya sebagai “Domba Allah, yang menanggung beban dunia” Pada malam yang sama dimana Dia direnggut oleh tangan-tangan jahat untuk disembelih dan disalibkan. Dan sebagai lambang berkas yang diunjuk, Tuhan kita dibangkitkan pada hari ketiga, “Sebagai Yang Sulung dari yang mati,” (1 Korintus 15:20) sebagai yang pertama dari orang-orang benar yang akan dibangkitkan, yang mana “tubuh yang hina” akan diubahkan, dan menjadi “serupa dengan tubuh-Nya yang mulia.” (Filipi 3:21)— (Ellen G. White, GC88, 399.2)

“Tuhan Yesus adalah fondasi dari seluruh ekonomi bangsa Yahudi. Tata upacara yang mengagumkan itu adalah peraturan Ilahi. Tata acara itu dimaksudkan untuk mengajar para umat bahwa pada waktu yang ditentukan, Dia akan datang kepada si penerima tata upacara-upacara yang mengunjuk pada-Nya itu. Tapi bangsa Yahudi telah memuliakan formalitas dan tata upacara tanpa mengerti tujuannya. Tradisi-tradisi, peribahasa dan undang-undang manusia telah menghalangi pelajaran-pelajaran yang Allah maksudkan bagi mereka untuk mengerti. Peribahasa dan tradisi-tradisi telah menjadi penghalang bagi pengertian dan praktek keagamaan yang benar. Dan ketika ralitasnya tiba di dalam pribadi Kristus, mereka tidak mengenali-Nya sebagai kegenapan dari semua lambang mereka, sebagai wujud dari semua bayangan mereka. Mereka menolak wujud nyata itu, dan tetap berpegang erat pada kiasan-kiasan dan tata upacara yang sia-sia.”— (Ellen G. White, COL 34.4)

“Bangsa Yahudi selama itu sangat bangga akan pelayanan-pelayanan yang ditetapkan secara Ilahi itu, dan banyak dari mereka yang telah menerima iman pada Kristus, masih merasa bahwa oleh karena Allah telah menetapkan tata cara ibadahnya, maka tak mungkin Allah akan pernah megizinkan satu perubahanpun dalam  tata cara tertentu itu. Mereka bersikeras bahwa hukum bangsa Yahudi dan tata cara itu harus diberlakukan dalam upacara agama Kristen. Mereka lamban untuk mengerti bahwa semua kurban persembahan mereka itu hanyalah mengiaskan kematian Anak Allah, dimana ketika kiasan (tipe) bertemu wujud nyata (antitipe), untuk selanjutnya, tata cara-tata cara yang ditetapkan Musa tidak lagi mengikat.” (Ellen G. White, Acts of the Apostles, 189.3)

“Bangsa Yahudi merasa bangga akan palayanan-pelayanan yang telah ditetapkan secara Ilahi itu. Mereka menyimpulkan bahwa sekali Allah telah menetepkan tata cara ibadah Ibrani itu, tidak mungkin Dia akan mengizinkan satu perubahanpun dalam aturan tertentu itu. Mereka memutuskan bahwa Kekristenan harus membaur dengan hukum dan tata upacara Yahudi. Mereka sangat lamban mengerti akhir dari sesuatu yang telah ditiadakan oleh kematian Kristus, dan lamban mengerti bahwa semua persembahan kurban mereka mengiaskan kematian dari Anak Allah, dimana kiasan (tipe) bertemu wujudnya (antitipe) menjadikan semua tata cara upacara dan kurban agama bangsa Yahudi tak lagi berguna. Paulus telah berbangga akan keketatan pada ajaran Farisi; tapi setelah Kristus menampakkan diri padanya dalam perjalanan ke Damaskus, misi dan pelayanan dari Penebus itu sendiri sehubungan dengan pertobatan orang-orang kafir menjadi jelas dalam pengertiannya. Dia jelas mengerti perbedaan antara iman yang hidup dan formalisme yang mati. Paulus masih mengaku sebagai salah satu anak Abraham, dan memelihara sepuluh hukum secara harafiah dan dalam roh sama setianya seperti sebelum pertobatannya kepada Kekristenan, tapi dia tahu bahwa lambang dari semua upacara itu harus segera berhenti, sebab yang telah dilambangkan sudah berlalu, dan terang injil itu menerangi kemuliaannya ke atas agama Yahudi, memberikan arti baru pada aturan-aturan yang usang.”— (Ellen G. White, Sketches from the Life of Paul, 64.2-65.1).

Dengan membandingkan tulisan Ny. White dengan ajaran beliau sendiri, kita dapati bahwa beliau tidak menganjurkan kita untuk terus merayakan hari raya Pondok Daun. Dan dalam tulisan berikut, kita dapati juga bahkan umat Kristiani mula-mula di Yerusalem tidak turut merayakan hari Raya Pondok Daun. Oleh sebab itu, mereka berkesempatan untuk melarikan diri sebelum Yerusalem dihancurkan oleh tentara Roma di tahun 70 AD.

“Pada saat pengepungan, bangsa Yahudi sedang berkumpul di Yerusalem untuk merayakan hari raya Pondok Daun, oleh sebab itu, umat Kristen di seluruh negeri itu dapat meloloskan diri tanpa kendala.” (Ellen G. White, Great Controversy, 30.4)

Kelompok pro hari raya Yahudi moderen, mencoba membangkitkan lagi ajaran para rabi Yahudi itu, yang oleh Rasul Paulus sudah diputuskan untuk ditiadakan. Kelompok ini mengartikan Kolose 2:16-17 sakan-akan rasul Paulus mengajarkan bahwa hari raya itu adalah sesuatu yang akan datang, yang belum digenapi, oleh sebab itu hari-hari raya itu harus tetap dipelihara sampai Kristus datang. Tapi ini adalah hasil interpretasi manusia saja. Simak kutipan-kutipan berikut:

“Paulus berusaha keras menjuruskan pikiran dari para pendengarnya kepada satu-satunya Kurban terbesar, oleh karena dosa. Dia mengacu pada kurban-kurban itu sebagai bayang-bayang dari hal-hal baik yang akan datang, dan kemudian memperkenalkan Kristus sebagai kegenapan dari semua upacara-upacara itu—sebagai obyek yang dimaksudkan oleh upacara-upacara, sebagai satu-satunya sumber hidup dan pengharapan bagi manusia berdosa. Para bapa suci diselamatkan oleh iman dalam darah Kristus. Ketika mereka menyaksikan derita kematian dari kurban-kurban itu, pandangan mereka menyeberangi lintasan jurang zaman kepada Domba Allah yang akan memikul dosa dunia.”— (Ellen G. White, Acts of the Apostles, 424.2)

“Kristus adalah wujud fisik yang memberi bayangan pada sistim pemerintahan sebelumnya. Ketika Kristus mati, bayang itu tak tampak lagi. Pada kematian Kristus, sistim kiasan ditiadakan; tapi hukum Allah, dimana pelanggarannya mengakibatkan rencana keselamatan diperlukan, diperlihatkan lebih jelas dan dimuliakan.” — (Ellen G. White, Bible Echo, July 15, 1893)

“Sementara kematian Penebus itu menghentikan hukum kiasan dan bayangannya, kematian itu tidak mengurangi kemutlakan dari hukum moral.”— (Ellen G. White, Patriarchs and Prophets, 363, 365)

Upacara-upacara yang berhubungan dengan upacara-upacara kaabah, yang menggambarkan Kristus dalam kiasan dan bayangan, ditiadakan pada waktu penyaliban, sebab di salib, kiasan bertemu dengan wujud nyata dalam kematian dari persembahan yang benar dan sempurna, Domba Allah (Manuscript 72, 1901)." — (Ellen G. White, 6BC 1115.21)

“Pengoyakkan tirai dalam kaabah menunjukkan bahwa kurban-kurban dan peraturan-peraturan bangsa Yahudi tidak akan lagi diterima.”(Ellen G. White, Early Writings, 259.1).

Hukum Upacara terdiri dari sistim persembahan dan bentuk ibadah dalam kaabah. Perhatikan bahwa waktu ibadah dan tata cara persembahan kurban tidak terpisah-pisah. Sistim ini tertulis secara terperinci dalam Hukum Upacara dalam Taurat Musa:

“Setelah kaabah selesai, Dia berfirman pada Musa dari awan kemuliaan di atas takhta pendamaian, dan memberikannya petunjuk lengkap tentang sistim persembahan dan bentuk ibadah yang dilakukan dalam kaabah. Dengan demikian hukum upacara diberikan pada Musa, dan dituliskan oleh Musa dalam sebuah buku. Tetapi Sepuluh Hukum yang dikumandangkan dari gunung Sinai ditulis oleh Allah Sendiri di atas loh batu, dan secara sakral tersimpan dalam tabut perjanjian. Banyak yang mencoba mencampur aduk kedua sistem ini, menggunakan ayat-ayat yang berbicara tentang hukum upacara untuk membuktikan bahwa Hukum Moral telah ditiadakan; tetapi cara ini adalah pemutarbalikkan Kitab Suci. Perbedaan antara kedua sistim ini begitu lebar dan jelas. Sistim upacara berisi simbol-simbol yang mengacu kepada Kristus, kepada pengorbanan dan keimamatan-Nya. Hukum ritual dengan kurban dan ketentuan-ketentuannya, selayaknya dilakukan oleh bangsa Ibrani hingga kiasan (tipe) bertemu wujud nyata (antitipe) di dalam kematian Kristus sebagai Domba Allah Yang memikul dosa dunia. Oleh sebab itu, semua persembahan kurban harus berhenti. Hukum inilah yang Kristus “tiadakan dengan memakukannya pada kayu salib. Kolose 2:14.”— (Ellen G. White, Patriarchs and Prophets, 364, 365)

Perhatikan juga bahwa Ny. White mengutip Kolose 2:14 dan menyebut “ketentuan-ketentuan (ordinances)” sesuai dengan apa yang Rasul Paulus tuliskan. Tapi mereka yang mempromosikan bahwa hari-hari raya Yahudi, biasanya lebih suka mengutip dari Alkitab terjemahan moderen lain dan bukan dari versi King James, yang menerjemahkan kata “ordinances” sebagai “surat hutang” atau “catatan hutang.” Tapi Ny. White jelas mengajarkan bahwa “Hukum Upacara” itulah yang ditiadakan, bukan “hutang” atau “surat hutang.” Simak kutipan berikut, dimana beliau menghubungkan Kolose 2:14 dengan Efesus 2:15:

“Tetapi ada hukum yang telah ditiadakan, dimana Kristus “tiadakan, memakukannya di kayu salib.” Paulus menyebutnya “hukum perintah-perintah yang berisi aturan-aturan.” Hukum upacara ini, diberikan oleh Allah melalui Musa, bersama dengan kurban-kurban dan ketentuan-ketentuan yang mengikat bangsa Ibrani sampai kiasan (tipe) bertemu wujud nyata (antitipe) saat kematian Kristus sebagai Domba Allah yang memikul dosa dunia. Selanjutnya, semua kurban dan persembahan ditiadakan. Paulus dan para murid yang lain bekerja untuk menunjukkan hal ini, dan dengan tegas menentang para guru Yahudi yang menyatakan bahwa umat Kristen harus memelihara hukum upacara itu.”— (Ellen G. White, Signs of the Times, 4 September 1884) –

Ny. White mengatakan “KURBAN-KURBAN” dan “KETENTUAN-KETENTUAN” itu SEMUA berakhir di kayu salib. Sekali lagi, bukan kurban-kurban saja yang ditiadakan, seperti ajaran para rabi Yahudi moderen, tetapi seluruh ketentuan/peraturan yang berhubungan dengan waktu dan tempatnya juga sudah ditiadakan.

“Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghakimi kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari-hari sabat.” Kolose 2:16. (Diterjemahkan dari KJV).

Jelas Rasul Paulus mengecam guru-guru Yahudi sebab mereka menghakimi orang lain yang tak lagi memelihara hari-hari raya mereka. Catatan penting; “hari-hari sabat” yang disebutkan dalam ayat di atas, adalah hari-hari raya sabat bangsa Yahudi. Dalam terjemahan King James, kata “hari-hari sabat” tidak dicetak dengan huruf besar yang menandakan bahwa hari-hari sabat itu bukan hari Sabat Ketujuh, melainkan hari-hari sabat yang termasuk dalam sistim hari-hari raya Yahudi.

Ny. White menuliskan bahwa Setan gembira bahwa orang-orang Yahudi masih mengikuti aturan-aturan upacara setelah penyaliban Kristus.

“Setan bergembira karena bangsa Yahudi nyaman dalam jeratnya. Mereka masih tetap meneruskan upacara formalitas sia-sia mereka, kurban bakaran, dan aturan-aturannya. Saat Yesus tergantung di atas kayu salib dan berseru, “Sudah selesai”, tirai kaabah disobek menjadi dua dari atas ke bawah, menandakan bahwa Allah tidak lagi akan bertemu dengan para imam di dalam kaabah untuk menerima kurban bakaran dan aturan-aturannya, dan juga itu menunjukkan bahwa tembok pemisah antara bangsa Yahudi dan bukan Yahudi telah diruntuhkan.”— (Ellen G. White, Early Writings, 209.1)

Tidak saja kita membuat Setan gembira, kita mengejek Allah jika kita terus merayakan hari-hari raya Yahudi itu.

“Kristus membebaskan para murid-Nya dari perhatian dan beban-beban yang dituntut oleh aturan-aturan bangsa Yahudi yang usang dalam menjalankan tata upacara itu. Hal-hal ini tidak lagi memiliki kebajikan apapun; sebab kiasan (type) telah bertemu wujud nyata (antitipe) dalam Diri-Nya, yaitu fondasi otoritas dari semua peraturan Yahudi yang mengarahkan pada-Nya sebagai satu-satunya persembahan besar yang manjur untuk dosa-dosa dunia. …..melanjutkan ritus-ritus (tata upacara keagamaan) ini adalah suatu penghinaan bagi Yehovah.”— (Ellen G. White, Review and Herald, June 14, 1898).

“Perjamuan malam paskah merupakan kejadian yang menarik perhatian khusus; tetapi pada waktu itu jiwa Yesus sangat gelisah. Para muridNya besimpati dengan rasa duka-Nya, walau mereka tidak mengerti penyebabnya. Pada dasarnya perayaan itu adalah Paskah terakhir yang akan pernah dirayakan; sebab kiasan (tipe) sedang bertemu wujud nyata (antitipe) dalam penyembelihan domba Allah untuk dosa-dosa dunia.”— (E.G. White, 3SP 83.3).

Ny. White juga menulis: “Festival Nasional bangsa Yahudi sudah ditiadakan untuk selamanya”. Festival Nasional adalah waktu-waktu tertentu dimana hari-hari raya itu dilakukan. Jelas, Ny. White tidak mengajarkan bahwa hanya kurban bakaran saja yang ditiadakan!

“Kristus berdiri pada titik transisi antara dua ekonomi (era) dan dua hari-hari raya besar. Dia, Domba Allah yang tak bercela, segera akan menyerahkan Diri-Nya sebagai persembahan dosa, dengan demikian Dia akan mengakhiri sistim dari kiasan (tipe) dan tata cara yang sudah selama empat ribu tahun telah mengacu kepada kematian-Nya. Saat Dia memakan jamuan Paskah dengan para murid-Nya, Dia melembagakan pergantian pelayanan sebagai peringatan pada pengorbanan-Nya yang besar. Festival Nasional bangsa Yahudi berakhir untuk selamanya. Pelayanan yang Kristus lembagakan itu akan dipatuhi oleh para pengikut-Nya di semua bangsa untuk selamanya.” — (Ellen G. White, Desire of Ages, 652)

“Pada saat yang sama ketika Kristus mati, tirai tebal yang terbuat dari kain murni, ditempah indah dengan kain merah dan ungu, terkoyak dari atas ke bawah. Tempat di mana Yehovah telah bertemu dengan imam untuk menyampaikan kemuliaan-Nya, tempat yang telah menjadi ruang pertemuan sakral, kini terbuka bagi semua pandangan mata—tempat itu tidak lagi diakui oleh Tuhan. Banyak yang pada saat itu tergabung dalam upacara pelayanan Paskah tidak melakukan pelayanan-pelayanan itu lagi. Terang menyinari hati mereka. Para rasul menyampaikan pekabaran kepada mereka bahwa Guru besar itu telah datang.” — (Ellen G. White, 12MR 418.1)

“Pada hari keempat belas bulan itu, menjelang malam, Paskah dirayakan, kekhidmatannya dengan upacara mengesankan untuk mengenang pembebasan dari perhambaah Mesir, dan mengacu pada pengorbanan yang membebaskan dari perhambaan dosa. Ketika Penebus menyerahkan hidup-Nya di Kalvari, makna dari Paskah itu berakhir, dan aturan-aturan perjamuan kudus Tuhan dilembagakan sebagai suatu peringatan dari peristiwa yang sama yang selama itu telah dilambangkan oleh Paskah.”— (Ellen G. White, Patriarchs and Prophets, 539.5)

“Di zaman para rasul, ajaran sesat yang paling bodoh disajikan sebagai kebenaran. Sejarah sudah terjadi dan akan terulang kembali. Akan selalu ada orang yang tampaknya bersungguh-sungguh, akan memegang erat pada bayangan, lebih memilih bayangan daripada wujud nyata. Mereka memilih yang salah daripada kebenaran, karena yang salah diselubungi oleh jubah yang baru. Mereka pikir bahwa mereka memelihara sesuatu yang gemilang. Tapi jika penutup itu diungkap, kesia-siaanlah yang akan tampak.”— (Ellen G. White, Review and Herald, February 5, 1901)

Dalam Galatia 1-5, kita membaca bahwa para Rabi Yahudi mengajarkan jemaat di Galatia untuk memelihara hukum upacara, termasuk hari-hari raya Yahudi. Simak apa yang dikatakan oleh Ny. White berikut:

“Sementara Paulus memandang dengan penuh minat dan penuh harapan ke ladang-ladang baru di bagian barat, dia telah menyebabkan keprihatinan serius di ladang-ladang yang dilayaninya di bagian timur. Berita telah diterima di Korintus dari gereja-gereja Galatia, menyatakan kekacauan besar dan bahkan kemurtadan mutlak. Para rabi Yahudi berusaha melawan ajaran rasul itu dan mencari kesempatan untuk menghancurkan hasil pekerjaannya. Hampir di setiap jemaat, ada beberapa anggota yang lahir sebagai orang Yahudi. Melalui anggota-anggota ini, para rabi Yahudi dengan mudah mendapat kesempatan dan tempat berpijak dalam jemaat. Mustahil untuk mendebat dan mengalahkan doktrin-doktrin yang diajarkan oleh Paulus dengan menggunakan Kitab Suci. Oleh sebab itu, mereka terpaksa menggunakan cara-cara licik untuk menggagalkan pengaruhnya dan melemahkan otoritasnya. Mereka berkata bahwa dia tidak pernah menjadi murid Yesus, dan tidak menerima tugas dari-Nya. Dia hanya mengira-ngira dalam mengajarkan doktrin-doktrin yang bertentangan langsung dengan ajaran Petrus, Yakobus, dan para rasul lainnya. Karenannya, para utusan Yahudi itu sukses dalam memisahkan kepercayaan umat-umat Kristen dari guru Injil itu. Setelah berhasil pada poin itu, mereka memaksa umat-umat itu untuk kembali memelihara hukum upacara sebagai hal yang penting bagi keselamatan. Iman pada Kristus dan kepatuhan pada sepuluh hukum dipandang sebagai hal kurang penting. Perpecahan, bidaah dan kesenangn diri bertumbuh pesat di antara umat-umat di Galatia.”— (Ellen G. White, Sketches from the Life of Paul, 188.2 )

“Karena pengaruh para rabi palsu dari Yerusalem, perpecahan, bidaah dan kesenangan diri berkembang pesat di antara umat-umat percaya di Galatia. Para rabi palsu ini mencampur-adukkan tradisi-tradisi Yahudi dengan kebenaran Injil. Tanpa menghiraukan keputusan Sidang Umum (General Conference) di Yerusalem, mereka mendesak umat-umat bukan Yahudi itu untuk memelihara hukum upacara.” (Ellen G. White, The Acts of the Apostles, 383.1)

“Di gereja-gereja Galatia, kesalahan blak-blakkan yang tak terselubung itu sedang membasmi khabar Injil. Kristus, fondasi yang benar dari iman, hampir dilupakan oleh karena upacara-upacara usang bangsa Yahudi. Rasul itu melihat bahwa agar umat-umat itu dapat diselamatkan dari pengaruh-pegaruh bahaya yang mengancam mereka, tindakan yang paling tegas harus dilakukan, amaran-amaran yang tajam diberikan untuk membawa pikiran mereka kembali kepada kondisi sebenarnya.”— (Ellen G. White, Sketches from the Life of Paul, 190.1)

Kisah 18:21 juga sering digunakan untuk mengajarkan bahwa hari-hari raya Yahudi itu haruslah dipelihara bahkan setelah kenaikan Kristus ke surga. Tetapi dari keterangan berikut kita dapati bahwa Paulus hanya ingin menggunakan kesempatan yang ada waktu itu untuk mengajarkan Kristus kepada bangsa Yahudi yang sedang berkumpul merayakan Paskah. Paulus tidak mengajarkan bahwa kita harus terus memelihara hari raya Yahudi.

“Paulus begitu menginginkan untuk tiba di Yerusalem sebelum Paskah sebab dia akan mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan mereka yang akan datang dari berbagai penjuru dunia untuk menghadiri perayaan itu. Dia selalu berharap bahwa suatu saat dia dapat berperan untuk menghapus prasangka kaum sesama bangsanya, agar mereka dapat dituntun untuk menerima terang termulia dari Injil. Dia juga ingin bertemu dengan jemaat di Yerusalem dan menyerahkan pada mereka pemberian yang dikirimkan oleh jemaat bukan Yahudi kepada saudara-saudara yang miskin di Yudea. Dan dengan kunjungan ini, dia berharap untuk menjalin hubungan erat antara orang Yahudi dan bukan Yahudi yang percaya.”— (Ellen G. White, Acts of the Apostles, p. 389)

Sebelum penyaliban, Yesus bahkan sudah berhenti menghadiri hari-hari raya Yahudi.

“Sementara putera-putera Yusuf bersedia untuk menghadiri hari raya Pondok Daun, mereka mendapati bahwa Kristus tidak memberi kesan yang menandakan bahwa dia bermaksud untuk hadir. Mereka mengamati-Nya dengan cermat. Sejak penyembuhan di kolam Betesda, Dia belum pernah lagi menghadiri pertemuan-pertemuan nasional. …Dari Yerusalem, laporan tentang mukjizat-mukjizat Kristus telah tersebar kemana saja orang-orang Yahudi ada; dan walaupun bulan-bulan telah berlalu dan Dia tidak datang di hari-hari perayaan, keinginan tentang Dia belum reda. Banyak yang telah datang dari berbagai penjuru dunia untuk menghadiri hari raya Pondok Daun, berharap untuk melihat Dia. Pada permulaan hari raya, banyak yang bertanya-tanya tentang Dia. Orang-orang Farisi dan para penguasa berharap agar Dia datang, dan mencari kesempatan untuk menuduh-Nya. Dengan gelisah mereka bertanya, “Dimanakah Dia?” tetapi tak seorangpun tau. Dia menjadi pokok pikiran semua orang. Karena takut kepada para imam dan para penguasa, tak seorangpun menjawab.”— (Ellen G. White, Desire of Ages, p. 451)

Komentar Ny. White lain yang menerangkan mengapa Rasul Paulus menghadiri hari raya orang Yahudi di Yerusalem.

“Pendeta tidak harus merasa bahwa semua kebenaran harus dikatakan kepada mereka yang tidak beriman pada setiap kesempatan. Dia harus belajar berhati-hati kapan untuk berbicara, apa yang harus diutarakan, dan apa yang tidak harus diutarakan. Ini bukan berarti mempraktekkan penipuan; tapi bekerja sebagaimana Paulus bekerja. “Sesunggupun aku bebas terhadap semua orang,” tulisnya kepada jemaat Korintus, “aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. ….Bagi orang-orang lemah, aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang kau telah menjadi segala-galanya supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka.” (1 Korintus 9:19-22). Paulus tidak mendekati orang-orang Yahudi dengan cara yang akan membangkitkan prasangka mereka. Mulanya dia tidak mengatakan pada mereka bahwa mereka harus percaya pada Yesus dari Nazaret, tapi terbatas dalam nubuatan-nubuatan yang berbicara tentang Kristus, misi dan pekerjaan-Nya. Langkah demi langkah dia menuntun para pendengarnya, menunjukkan pentingnya menghormati hukum Allah. Dia menghormati hukum upacara, menunjukkan bahwa Kristuslah yang melembagakan ekonomi bangsa Yahudi dan pelayanan kurban. Kemudian dia membawa mereka pada kedatangan pertama Penebus itu, dan menunjukkan bahwa dalam hidup dan kematian Kristus, setiap makna tertentu dari pelayanan kurban telah terpenuhi. Pada bangsa yang bukan Yahudi, Paulus mendekati mereka dengan cara mengangkat Kristus, dan kemudan menyampaikan tuntutan yang mengikat dari hukum itu. Dia menunjukkan bagaimana terang yang terpancar dari Salib Kalvari memberikan arti dan kemuliaan bagi seluruh ekonomi bangsa Yahudi. Rasul itu menggunakan beragam cara kerja, menyesuaikan pekabarannya dengan situasi-situasi di mana dia ditempatkan. Setelah bekerja dengan sabar, dia mendapatkan kesuksesan yang besar; namun banyak yang tidak mau yakin. Saat ini, ada banyak yang tidak akan dapat diyakinkan oleh berbagai metode pernyataan kebenaran.”— (Ellen G. White, Gospel Workers 119.3)

Membandingkan 1 Korintus 9:19-22 dengan komentar Ny. White di atas, kita dapat lihat bahwa Rasul Paulus menghadiri hari raya Yahudi untuk menjangkau dan memperkenalkan Kristus pada mereka. Rasul Paulus tidak mempromosikan pemeliharaan hari-hari raya bangsa Yahudi. (Untuk pendalaman, baca berulang-ulang kali apa yang terjadi dalam buku Kisah 15).

Yolanda Kalalo-Lawton
www.agapekasih.org
Maret 2023